Bugi, Gono, Adon, Feri dan Coki baru saja menggelar ‘konser’ di kamar Coki. ‘Konser’ menurut kamus mereka adalah menonton setumpuk DVD porno.
“Sialan, kenapa lu ngajak ‘konser’ pas gue lagi jomblo? Mana di sini sama sekali gak ada cewek,” gerutu Adon sambil mengelap jidatnya yang berkeringat. “Gue butuh pelampiasan nih,” tukasnya lagi sambil mengelus kont*lnya yang ngaceng di balik celana bermudanya.
“Sayang Mbak Suti udah pulang,” desah Coki. “Biar cuma babu cuci dan giginya berantakan, tapi bodinya mak! Gak kalah sama J-Lo. Pantatnya itu lho kalo jalan megal-megol!”
“Yah, selera lu kok gak mutu gitu,” cela Gono sambil pringas-pringis. “Gue mana bisa nafsu sama cewek jelek.” Cowok paling ceking ini sedang berusaha mengecilkan kont*lnya yang membengkak dengan menempelkan bagian depan celananya yang menggembung pada sekaleng bir Guiness hitam dingin.
“Eh, kalo lagi nafsu gini mau cewek kayak apa kek yang penting dia punya lobang yang bisa dimasukin,” sahut Bugi sambil ngiler usai melihat-lihat cover DVD yang seronok.
“Tul, biar muka kayak setan yang penting legit kayak ketan,” timpal Coki mencoba sedikit bertamsil.
“Lha, trus sekarang kita kudu ngapain? Ke diskotek, panti pijat atau lokalisasi? Gue lagi bokek. Lagian kalau pas ada razia kan konyol. Pokoknya malam ini gue kudu nyolok,” ujar Adon.
“Oh, gue tahu! Lu pada inget sama cewek yang tinggal di rumah belakang gak? Yang sombong itu lho. Yang gue panggil tapi dia malah melengos.”
Karena masih mabuk film porno, empat temannya hanya manggut-manggut tanpa tenaga. Feri yang pendiam malah masih merengut. Ia tidak puas dengan enam film yang mereka tonton. Bukan karena cerita atau pemainnya – buktinya kont*lnya paling mekar diantara yang lainnya, tapi sudut pengambilan gambar yang membuatnya jengkel. Maklum, si bongsor ini adalah mahasiswa IKJ jurusan penyutradaraan.
“Namanya Nina. Sebenarnya mukanya sih nggak cantik-cantik amat, tapi bodinya seksi. Kulitnya putih mulus. Pahanya jenjang en payudaranya sekel. Eh, pas tahu gue pelototin bodinya dia malah maki-maki gue. Heran, kalo nggak mau ditonton ya jangan ngasih kita tontonan dong. Dia jual mahal karena dulunya pernah jadi simpanan bule. Mending bulenya cakep. Udah tua, gendut, gundul lagi.”
“Wah, panjang umur dia,” gumam Bugi sambil melongok jendela. “Cok, itu kan yang namanya Nina?”
Keempat temannya segera menghambur ke jendela. Dari lantai dua, mereka bisa melihat gundukan kembar yang mengintip dari belahan blus rendah, paha mulus jenjang dan goyang pantat Nina yang membius. Jakun mereka naik turun dan menghasilkan bunyi glek keras. Lalu semuanya saling pandang. Seakan memiliki kemampuan men-scan isi otak empat sohibnya yang kotor, Coki langsung mengajak mereka menyelinap ke rumah kontrakan di belakang. Kebetulan Nina memang tinggal sendirian. Tapi ada syaratnya…
“Gue gak mau masuk penjara. Jadi kita harus bikin dia mau main karena suka sama suka.”
“Yaa repot amat. Masa kudu pake rayuan dulu?” omel Adon.
“Gak repot asal ngikutin cara gue. O, ya satu lagi. Karena gue yang kasih tahu kalian, berarti gue dapat giliran pertama. Dan lu, Fer, lu bisa mewujudkan impian lu. Bawa handycam lu.”
Feri memang tak pernah lepas dari handycamnya. Wajahnya yang berjerawat langsung berseri-seri. Ia mendekati Coki lalu berbisik-bisik seperti seorang sutradara yang sedang berdiskusi dengan penulis skenario.
Setelah celingukan ke sana-kemari, mereka memanjat pagar kecuali Gono. Ia tetap berada di luar pagar untuk membunyikan bel agar Nina mau keluar. Mulanya Gono enggan, takut dirinya dilupakan dan ditinggal oleh teman2nya. Tapi setelah Coki meyakinkannya, ia mau juga menjadi pancingan.
Ting Tong. Ting Tong. Ting Tong. Ting Tong.
Nina mengintip dari balik korden. Ia mengerutkan keningnya melihat cowok tak dikenal memencet bel rumahnya dengan getol. Dengan jengkel ia membuka pintu, mulutnya baru saja membuka untuk mengomeli Gono saat sebuah tangan membekap mulutnya dan ada tangan-tangan lain meringkus tangan dan kakinya. Dalam waktu singkat, Nina sudah digotong masuk ke dalam kamar tidurnya sendiri. Sedangkan sesuai janjinya, Coki tak lupa membukakan pintu untuk Gono. Kerjasama Coki dan kawan-kawan tak kalah baik dengan kawanan tentara bayaran di film-film Hollywood saat menjebak teroris. Nina mendelik begitu mengenali Coki. Berbagai makian terlontar, tapi tak jelas terdengar karena mulutnya dibekap.
“Diam, sayang. Kalau lu terus memaki-maki gue, nanti akibatnya tambah fatal,” ujar Coki sambil mengunci pintu kamar.
Kemudian Coki meminta teman-temannya untuk menelanjangi Nina. Bugi yang kesal karena tangannya digigit Nina hingga berdarah langsung menjejalkan celana dalam nylon putih berenda ke dalam mulut sang empunya celana. Gadis itu tidak diikat karena kedua tangan dan kakinya terus dipegangi. Bugi yang duduk di dekat kepala Nina memegangi kedua tangan Nina, sedang Adon dan Gono duduk di samping kiri-kanan Nina sambil mementangkan kaki gadis itu dengan selebar mungkin. Usaha mereka tidak mudah karena gadis itu terus meronta-ronta. Sementara itu Feri sudah sibuk dengan handycam-nya, lensa handycam terus terarah pada lekuk tubuh Nina.
“Begini, kita punya penawaran. Kita kasihan melihat lu tinggal sendirian tanpa pacar apalagi suami. Lu pasti sering masturbasi kalau lagi kesepian. Apalagi umur lu masih muda, belum nyampe tiga puluh. Cewek umur segitu kan lagi horny-hornynya,” ujar Coki sambil mengelus selangkangan Nina yang tak berambut, sepertinya habis di-wax. “Jadi kita bisa saling memuaskan. Win-win solution lah.”
Nina menggeram marah. Ia melotot sambil menggeleng keras saat payudaranya diremas-remas Adon dan Gono.
“Kalau kami nggak bisa membuat lu orgasme dalam waktu sepuluh menit, kami akan minta maaf, keluar dari sini dan nggak bakalan ganggu lu lagi selamanya. Lu sendiri nggak boleh bilang siapa-siapa tentang kejadian ini atau rekaman gambar bugil lu akan nongol di internet. Tapi kalau lu sampai teriak-teriak enak, maka lu harus mau melayani kami berlima,” ujar Bugi sambil memiting kedua tangan Nina.
“Pelan-pelan. Kalau tangannya sampai keseleo atau patah kan nggak seru,” tukas Coki menyabarkan Bugi. Bugi menurut dan mengendorkan pitingannya.
Nina mulai gemetar. Sorot matanya tak segarang tadi. Agaknya ia tidak yakin bisa melewati sepuluh menit dengan selamat. Jujur saja apa yang dikatakan Coki tadi benar. Ia memang kesepian dan hampir tiap malam bermasturbasi, kadang sekali, kadang sampai tiga kali. Ia ingin bercinta lagi, tapi hanya dengan orang yang benar-benar dikenalnya.
Tanpa menunggu jawaban Nina, Coki mengambil posisi di depan selangkangan Nina. Tubuh Nina mengejang saat lidah Coki mulai menjilati klitorisnya. Tapi sesudahnya ia diam, meronta pun tidak. Ia hanya merintih pelan sambil berusaha menahan agar nafsunya jangan sampai meledak. Namun bukan hanya Coki yang bekerja, Adon dan Gono terus meremas dan melumat buah dada bulat kenyal dengan lapar. Sesekali keduanya memuntir dan menggigiti puting cokelat muda yang menggemaskan itu. Sedangkan Bugi menggesek-gesekkan kont*lnya yang keras di balik celana selututnya pada ubun-ubun Nina.
Dada Nina naik-turun. Nafasnya mulai memburu. Dengan lembut dan tak terburu-buru Coki melumat bibir bawah Nina. Dijilatinya klentit yang sudah mengeras itu dengan perlahan, sesekali menelusurinya dengan ujung lidahnya. Coki pernah membaca di sebuah majalah kalau klentit sisi sebelah kanan lebih sensitif dari sebelah kiri karena syaraf pada pada sisi kanan berhubungan langsung pada kandung kemih. Jari telunjuk Coki juga sudah mengelus dan menekan dinding atas vagina, persisnya pada permukaan halus yang mirip spons. Menurut buku seks yang dibacanya, tempat itu yang dinamakan G-spot.
“Lima menit lagi,” ujar Feri dengan suara serak. Tangannya yang memegang handycam sudah berkeringat. Ia ingin sekali ikut meremas dan menjilati tubuh Nina, tapi merekam dokumentasi langka seperti ini lebih penting baginya. Toh nantinya ia juga dapat giliran.
Nina memandangi jam dinding dengan pasrah bercampur cemas. Kalau saja ia punya kemampuan untuk memajukan jarum menit dari jarak jauh, tapi yang bisa dilakukannya hanyalah terkapar tanpa daya. Payahnya lagi tubuhnya mulai menggigil oleh hujan serangan dari cowok-cowok yang usianya sekitar sepuluh tahun lebih muda darinya. Sudah lama ia tidak disentuh laki-laki, sekarang malah ada lima meski yang satu sibuk dengan handycam. Astaga! Nanti rekaman itu akan dikemanakan? Eh, apa mereka membawa kondom? Kalau dia sampai hamil gimana? Untung saja hari ini sudah lewat masa suburnya.
“Dua menit lagi,” ujar Feri sambil merekam kehebatan kerja lidah Coki dari jarak dekat. “Lu benar-benar hebat, man. Belajar dari mana sih? Tapi jangan lama-lama nanti sepuluh menit keburu lewat,” bisiknya.
Coki hanya melirik dan mengedipkan matanya. Mendadak ia mempercepat gosokan sambil sedikit menekan G-spot dan mengenyot kacang basah itu dengan mantap. Nina mengerang dengan mata terpejam lekat sehingga dahinya berkerut dan kedua alisnya menyambung jadi satu.
“Suara lu seksi. Bikin adik gue tambah gede,” bisik Bugi sambil menyeringai.
Nina menggigit bibirnya untuk menahan teriakan-teriakan keluar dari mulutnya. Namun rasa nikmat sudah menguasai sekujur syaraf tubuhnya. Kakinya yang sejak tadi diam mulai kembali bergoyang-goyang. Begitu pula tangannya.
“This is it, Cok! She’s coming!” seru Bugi riang.
Mendengar kata ‘coming’, Nina berusaha mengendurkan syaraf-syarafnya, tapi Coki sudah membuatnya gila. Perut bawahnya mulai mengejang dan rasanya ingin meledak. Ia menggeliat untuk menahan ledakan, tapi terlambat. Seiring erangan keras, matanya melotot dan kedua kakinya menjejak ke udara dengan keras hingga nyaris terlepas dari cekalan Adon dan Gono. Bugi mencopot sumbatan mulut Nina dan berbisik, “bilang enak dulu kalau nggak, dia nggak akan berhenti ngemut klentit lu.”
Namun Nina hanya mengerang-erang sambil menggelinjang ke sana-kemari. Ia berusaha melepaskan diri dari Coki, tapi lidah dan jari Coki terus melekat dengan mantap.
“Ss… sudah… su… dah… please… tol…long…,” desis Nina setengah menangis.
“Bilang enak dulu,” perintah Bugi.
“E… enak… en…nak…”
“Yang keras!”
“Enak! Enaaak!”
Baru Coki berhenti. Sekitar bibir dan hidungnya basah mengkilap, tapi ia tampak senang. Dengan wajah berseri-seri, ia membuka pakaian hingga telanjang. Begitu pula yang lainnya termasuk Feri yang akhirnya mau juga menaruh handycam-nya.
Dengan napas tersengal-sengal Nina terbaring lemah. Ia hanya bisa melihat Coki merangkak mendekatinya dan langsung menghujamkan kont*lnya ke dalam vagina yang basah dan licin. Nina merintih saat klentitnya yang bengkak dan masih sensitif terasa pedas tergesek rambut kemaluan Coki yang tajam. Coki sendiri terus menghantam pantatnya ke selangkangan Nina sambil melumat bibir Nina dengan rakus. Nina memalingkan wajahnya begitu merasakan lendir vaginanya sendiri, tapi Coki memegangi pipinya dengan erat dan terus mengobok-obok gusi dan dinding mulut Nina dengan lidahnya. Setelah puas mentransfer ludah mulut bawah Nina ke mulut atasnya, kedua tangan Coki sibuk meremas pinggul dan payudara gadis itu dengan keras hingga Nina kesakitan. Sepertinya kesabaran Coki dalam menghadapi klentit, hilang tak tersisa.
Bugi, Adon dan Gono asyik menonton sambil mengelus-ngelus kont*l mereka. Bugi yang mendapat giliran kedua sudah siap di samping ranjang sambil menyuruh agar Coki jangan lama-lama. Coki yang memang sudah hampir selesai segera mempercepat kayuhan pantatnya dan ia menggeram sambil meremas buah dada Nina dengan keras. Crot! Crot! Crot! Nina begitu kesakitan hingga air matanya menggenang. Ia tidak mengalami orgasme lagi karena tubuhnya belum pulih dari ledakan kenikmatan tadi apalagi remasan tangan Coki menyakitinya.
Bugi langsung maju menggantikan tempat Coki. Ia menyeringai melihat Nina menggeleng pasrah.
“Jangan takut, sayang. Biarpun tangan gue lu gigit sampe berdarah, gue bakal bikin lu menjerit-jerit keenakan.”
Nina memang langsung menjerit kecil saat kont*l Bugi menerobos masuk dengan paksa. Apalagi setelah kedua kakinya yang panjang diangkat dan disampirkan pada pundak Bugi. Kont*l Bugi langsung melesak masuk menumbuk G-spotnya dengann telak. Teriakan kesakitan Nina berubah menjadi lolongan nikmat saat Bugi menghentak-hentakkan pantatnya. Kedua tangan Nina menarik-narik seprai hingga hampir robek.
Feri terus merekam dari berbagai sisi. Sedangkan Adon dan Gono mengomentari gaya Bugi dengan kagum seperti komentator yang sedang memuji-muji gocekan Ronaldinho di depan gawang lawan. Coki tampak sirik dengan keberhasilan Bugi merangsang Nina. Gadis itu seperti lupa kalau sedang diperkosa. Ia tampak begitu menikmati kocokan Bugi hingga ikut menghentakkan pantatnya dan berulang kali berteriak ‘Yes! Oh, yes! More… more!! Ughh! Enaaak! Agh… Yes! Enaaak!!”
Akhirnya dengan kepala mendongak, Bugi menggeram seperti ****** herder milik Pak RT. Cairan hangat menyembur-nyembur dari kont*lnya ke dalam rahim Nina dan kedua tangannya mencengkeram payudara sambil memuntir puting Nina. Pinggul Nina masih terus bergoyang, teriakannya juga masih jalan terus. Rupanya kont*l Bugi yang tinggal setengah mekar masih cukup keras menyodok-nyodok G-spot nya. Selang sepuluh detik kemudian giliran Nina mengerang panjang lalu tubuhnya terkulai lemas. Ia mengangguk pelan pada Bugi sebelum memejamkan matanya.
“Eh, siapa yang suruh lu tidur. Belum selesai, sayang,” tukas Adon sambil menarik Nina bangun.
Adon si gempal menyuruh Nina duduk di pangkuan menghadapnya. “Busyet! Lu becek banget,” tukas Adon setengah mengeluh saat cairan vagina bercampur sperma dua temannya tumpah membasahi paha dan buah zakarnya. Kont*l Adon sudah berdiri dengan kerasnya hingga tak perlu bantuan tangan lagi untuk memasuki lubang vagina Nina.
Nina menahan napas saat vaginanya kembali ditembus kont*l sekeras kayu. Anak-anak kuliahan ini benar-benar berbeda dari Albert Withers, expat Aussie yang dulu memeliharanya. Kont*l Albert memang besar, tapi tidak sekeras milik mereka. Mungkin karena sudah berusia lima puluh tahun maka kont*l bule itu tidak lagi mengacung ke langit tapi membentuk sudut sembilan puluh derajat dari paha.
Adon memegangi pantat Nina dan menaik-turunkannya seiring ia menggoyang pantatnya. Nina yang lemas berusaha bersandar pada tubuhnya, tapi malah didorongnya menjauh hingga kepalanya terayun ke belakang. Satu tangan Adon melepas pantat Nina untuk menyangga punggung Nina. Bibirnya yang tebal menyelomot payudara Nina yang berayun di depan wajahnya. Mata Nina kembali terpejam dan ia mengerang. Semua rangsangan ini membuat liang senggamanya berkedut dan mengeluarkan cairan lagi. Tapi erangannya lembut setengah mendesah, tak sekeras saat kont*l Bugi mengocoknya. Tapi lama kelamaan ia mulai merintih nikmat karena klentitnya kembali mengembang setelah tergesek dengan rambut kemaluan Adon. Ia mulai menggelinjang sehingga tubuhnya oleng dan hampir jatuh rebah ke kasur. Tapi Adon menariknya kembali dan tubuh mereka yang basah karena keringat saling menempel. Adon memeluk Nina dengan erat dan menekan tubuh Nina kuat-kuat sebelum menyemburkan spermanya.
Nina yang baru saja dibaringkan Adon langsung disuruh nungging oleh Gono. Dengan sekali hentak, kont*l Gono langsung masuk. Nina mengerang sambil meringis. Meski tidak begitu panjang, tapi kont*l buntek ini berdiameter cukup besar sehingga memenuhi liang vaginanya seperti lepet yang menuh-menuhin bungkusnya. Satu tangan Gono mengobel-ngobel payudara Nina dan yang satunya mengilik-ngilik klitoris Nina. Gadis itu terus menggelinjang dan merintih nikmat setelah mengalami lima orgasme kecil berturut-turut. Gono sendiri memejamkan mata menikmati kont*lnya dikenyot liang vagina yang tak henti berkedut.
Coki, Bugi dan Adon menggoda Feri yang terus saja asyik merekam. Seolah tak mendengar ejekan temannya, Feri malah mendekati Gono dan membisikinya sesuatu. Gono menoleh tanpa berhenti mengayun pantatnya. Pandangan takjub Gono membuat tiga penonton saling pandang dengan penasaran. Tapi Feri dan Gono tak mau menjawab pertanyaan yang diberondongkan mereka. Dengan santai Gono menarik tangannya dari klentit Nina. Tangannya mengkilat oleh cairan vagina bercampur sperma tiga temannya. Lalu ia mengoleskan cairan di tangannya ke bibir anus Nina. Nina yang sejak tadi mengerang-erang langsung terkesiap. Ia melonjak kaget bahkan berusaha melepaskan diri, tapi Gono memegangi pantatnya dengan erat. Dengan dua jari, Gono menguwek-uwek bibir anus berwarna merah muda itu hingga melembut. Anus Nina makin berkerut-kerut karena kegelian. Sentuhan pada anus rupanya membuat Nina semakin panas dan meremas kont*l Gono kuat-kuat. Bersamaan dengan jeritan Nina, Gono juga berteriak. Cairan hangat kembali membanjiri lubang vagina Nina.
Nina ambruk ke atas seprai yang bau dan basah kuyup oleh cocktail keringat, cairan vagina dan air mani. Matanya yang hampir terpejam segera melotot begitu melihat kont*l Feri yang berukuran super melintas di depan hidungnya. Tanpa disadarinya tubuhnya gemetar dan lubang vaginanya terasa ngilu sebelum ditembus kont*l pejantan terakhir. Feri menitipkan handycam-nya dulu pada Coki dan mulai mendekati Nina. Ia duduk bersandar di headboard ranjang dan menarik tubuh Nina yang tergolek di hadapannya. Dimintanya Nina duduk di pangkuannya, tapi tidak seperti Adon tadi kali ini Nina memunggunginya. Kaki Nina dipentangkan lebar dan ditaruh di atas kedua lutut Feri. Dengan perlahan, Feri memegangi pinggang ramping Nina. Diangkat dan diturunkannya tubuh gadis itu hingga kont*lnya menusuk masuk ke dalam vaginanya. Ninah mendesah puas. Namun baru saja mem*knya meremas-remas gada raksasa itu, ia kecewa. Tiba-tiba Feri saja mengangkat tubuhnya dan melepaskan kont*lnya. Apa karena terlalu becek? Nina ingin bertanya, tapi malu. Lagipula Feri kembali menurunkan tubuhnya.
Nina menjerit kesakitan. Ternyata kont*l besar itu menghujam lubang anusnya setelah mencelup lubang vaginanya untuk mendapat lubrikasi. Ia meronta dengan sisa-sisa tenaganya, tapi sia-sia. Feri terus menarik pundak Nina ke bawah. Tubuh Nina melengkung karena menahan nyeri saat seluruh kont*l Feri masuk ke lubang anusnya. Baru kali ini anusnya diperawani, sialnya dengan kont*l sebesar ini. Feri diam sejenak dan meremas-remas payudara Nina dengan lembut. Ia juga membisiki Nina dengan berbagai pujian dan rayuan. Usahanya menenangkan Nina berhasil, gadis itu akhirnya berhenti berontak dan menyandarkan tubuhnya dengan pasrah. Feri mulai menaik-turunkan tubuh Nina. Satu tangannya beranjak meninggalkan payudara dan menelusuri perut rata Nina menuju klitoris Nina yang sudah memerah.
Nina menggelinjang saat jari telunjuk Feri menggaruk sembari memutar-mutar kacangnya. Payudaranya berguncang sehingga membuat empat penonton kembali ngos-ngosan karena pemandangan merangsang ini membangunkan senjata pribadi mereka. Coki yang tidak tahan menyerahkan handycam pada Bugi dan merangkak maju mendekati Nina. Protes teman-temannya tidak dipedulikannya. Rupanya ia masih kesal mengapa Nina tampak begitu menikmati kont*l teman2nya, tapi tidak miliknya.
Telunjuk Coki menyelonong masuk ke dalam liang vagina Nina dan mengobok-obok G-spotnya dan mulutnya menerkam salah satu payudara Nina. Nina mendesis-desis sambil memandangi Coki. Pandangannya seperti orang fly, ya gadis itu sedang terbang di dunia fantasi. Cairan vagina yang terus keluar mengalir ke anus membuat gerakan kont*l Feri semakin lancar. Kaki Nina mengejang dan teriakan lantang pun menyusul hingga Coki harus membekap mulut Nina. Dua tangan Coki berada pada dua mulut Nina. Feri terus memompa lubang Nina tanpa ampun. Ia belum juga ejakulasi meski tubuh Nina sudah terkulai lemas. Akhirnya crrott…crott…crot…crot. Semburan panas mengisi lubang anus Nina hingga ia terlonjak.
Bermain selama lima ronde berturut-turut membuat tenaga Nina habis. Begitu Feri melepaskannya, ia roboh tanpa bisa berkata-kata lagi. Ia baru membuka mulutnya setelah Adon kembali meraba payudaranya. “Besok… besok lagi saja, ya…,” ujarnya memelas dengan lirih
“Sialan, kenapa lu ngajak ‘konser’ pas gue lagi jomblo? Mana di sini sama sekali gak ada cewek,” gerutu Adon sambil mengelap jidatnya yang berkeringat. “Gue butuh pelampiasan nih,” tukasnya lagi sambil mengelus kont*lnya yang ngaceng di balik celana bermudanya.
“Sayang Mbak Suti udah pulang,” desah Coki. “Biar cuma babu cuci dan giginya berantakan, tapi bodinya mak! Gak kalah sama J-Lo. Pantatnya itu lho kalo jalan megal-megol!”
“Yah, selera lu kok gak mutu gitu,” cela Gono sambil pringas-pringis. “Gue mana bisa nafsu sama cewek jelek.” Cowok paling ceking ini sedang berusaha mengecilkan kont*lnya yang membengkak dengan menempelkan bagian depan celananya yang menggembung pada sekaleng bir Guiness hitam dingin.
“Eh, kalo lagi nafsu gini mau cewek kayak apa kek yang penting dia punya lobang yang bisa dimasukin,” sahut Bugi sambil ngiler usai melihat-lihat cover DVD yang seronok.
“Tul, biar muka kayak setan yang penting legit kayak ketan,” timpal Coki mencoba sedikit bertamsil.
“Lha, trus sekarang kita kudu ngapain? Ke diskotek, panti pijat atau lokalisasi? Gue lagi bokek. Lagian kalau pas ada razia kan konyol. Pokoknya malam ini gue kudu nyolok,” ujar Adon.
“Oh, gue tahu! Lu pada inget sama cewek yang tinggal di rumah belakang gak? Yang sombong itu lho. Yang gue panggil tapi dia malah melengos.”
Karena masih mabuk film porno, empat temannya hanya manggut-manggut tanpa tenaga. Feri yang pendiam malah masih merengut. Ia tidak puas dengan enam film yang mereka tonton. Bukan karena cerita atau pemainnya – buktinya kont*lnya paling mekar diantara yang lainnya, tapi sudut pengambilan gambar yang membuatnya jengkel. Maklum, si bongsor ini adalah mahasiswa IKJ jurusan penyutradaraan.
“Namanya Nina. Sebenarnya mukanya sih nggak cantik-cantik amat, tapi bodinya seksi. Kulitnya putih mulus. Pahanya jenjang en payudaranya sekel. Eh, pas tahu gue pelototin bodinya dia malah maki-maki gue. Heran, kalo nggak mau ditonton ya jangan ngasih kita tontonan dong. Dia jual mahal karena dulunya pernah jadi simpanan bule. Mending bulenya cakep. Udah tua, gendut, gundul lagi.”
“Wah, panjang umur dia,” gumam Bugi sambil melongok jendela. “Cok, itu kan yang namanya Nina?”
Keempat temannya segera menghambur ke jendela. Dari lantai dua, mereka bisa melihat gundukan kembar yang mengintip dari belahan blus rendah, paha mulus jenjang dan goyang pantat Nina yang membius. Jakun mereka naik turun dan menghasilkan bunyi glek keras. Lalu semuanya saling pandang. Seakan memiliki kemampuan men-scan isi otak empat sohibnya yang kotor, Coki langsung mengajak mereka menyelinap ke rumah kontrakan di belakang. Kebetulan Nina memang tinggal sendirian. Tapi ada syaratnya…
“Gue gak mau masuk penjara. Jadi kita harus bikin dia mau main karena suka sama suka.”
“Yaa repot amat. Masa kudu pake rayuan dulu?” omel Adon.
“Gak repot asal ngikutin cara gue. O, ya satu lagi. Karena gue yang kasih tahu kalian, berarti gue dapat giliran pertama. Dan lu, Fer, lu bisa mewujudkan impian lu. Bawa handycam lu.”
Feri memang tak pernah lepas dari handycamnya. Wajahnya yang berjerawat langsung berseri-seri. Ia mendekati Coki lalu berbisik-bisik seperti seorang sutradara yang sedang berdiskusi dengan penulis skenario.
Setelah celingukan ke sana-kemari, mereka memanjat pagar kecuali Gono. Ia tetap berada di luar pagar untuk membunyikan bel agar Nina mau keluar. Mulanya Gono enggan, takut dirinya dilupakan dan ditinggal oleh teman2nya. Tapi setelah Coki meyakinkannya, ia mau juga menjadi pancingan.
Ting Tong. Ting Tong. Ting Tong. Ting Tong.
Nina mengintip dari balik korden. Ia mengerutkan keningnya melihat cowok tak dikenal memencet bel rumahnya dengan getol. Dengan jengkel ia membuka pintu, mulutnya baru saja membuka untuk mengomeli Gono saat sebuah tangan membekap mulutnya dan ada tangan-tangan lain meringkus tangan dan kakinya. Dalam waktu singkat, Nina sudah digotong masuk ke dalam kamar tidurnya sendiri. Sedangkan sesuai janjinya, Coki tak lupa membukakan pintu untuk Gono. Kerjasama Coki dan kawan-kawan tak kalah baik dengan kawanan tentara bayaran di film-film Hollywood saat menjebak teroris. Nina mendelik begitu mengenali Coki. Berbagai makian terlontar, tapi tak jelas terdengar karena mulutnya dibekap.
“Diam, sayang. Kalau lu terus memaki-maki gue, nanti akibatnya tambah fatal,” ujar Coki sambil mengunci pintu kamar.
Kemudian Coki meminta teman-temannya untuk menelanjangi Nina. Bugi yang kesal karena tangannya digigit Nina hingga berdarah langsung menjejalkan celana dalam nylon putih berenda ke dalam mulut sang empunya celana. Gadis itu tidak diikat karena kedua tangan dan kakinya terus dipegangi. Bugi yang duduk di dekat kepala Nina memegangi kedua tangan Nina, sedang Adon dan Gono duduk di samping kiri-kanan Nina sambil mementangkan kaki gadis itu dengan selebar mungkin. Usaha mereka tidak mudah karena gadis itu terus meronta-ronta. Sementara itu Feri sudah sibuk dengan handycam-nya, lensa handycam terus terarah pada lekuk tubuh Nina.
“Begini, kita punya penawaran. Kita kasihan melihat lu tinggal sendirian tanpa pacar apalagi suami. Lu pasti sering masturbasi kalau lagi kesepian. Apalagi umur lu masih muda, belum nyampe tiga puluh. Cewek umur segitu kan lagi horny-hornynya,” ujar Coki sambil mengelus selangkangan Nina yang tak berambut, sepertinya habis di-wax. “Jadi kita bisa saling memuaskan. Win-win solution lah.”
Nina menggeram marah. Ia melotot sambil menggeleng keras saat payudaranya diremas-remas Adon dan Gono.
“Kalau kami nggak bisa membuat lu orgasme dalam waktu sepuluh menit, kami akan minta maaf, keluar dari sini dan nggak bakalan ganggu lu lagi selamanya. Lu sendiri nggak boleh bilang siapa-siapa tentang kejadian ini atau rekaman gambar bugil lu akan nongol di internet. Tapi kalau lu sampai teriak-teriak enak, maka lu harus mau melayani kami berlima,” ujar Bugi sambil memiting kedua tangan Nina.
“Pelan-pelan. Kalau tangannya sampai keseleo atau patah kan nggak seru,” tukas Coki menyabarkan Bugi. Bugi menurut dan mengendorkan pitingannya.
Nina mulai gemetar. Sorot matanya tak segarang tadi. Agaknya ia tidak yakin bisa melewati sepuluh menit dengan selamat. Jujur saja apa yang dikatakan Coki tadi benar. Ia memang kesepian dan hampir tiap malam bermasturbasi, kadang sekali, kadang sampai tiga kali. Ia ingin bercinta lagi, tapi hanya dengan orang yang benar-benar dikenalnya.
Tanpa menunggu jawaban Nina, Coki mengambil posisi di depan selangkangan Nina. Tubuh Nina mengejang saat lidah Coki mulai menjilati klitorisnya. Tapi sesudahnya ia diam, meronta pun tidak. Ia hanya merintih pelan sambil berusaha menahan agar nafsunya jangan sampai meledak. Namun bukan hanya Coki yang bekerja, Adon dan Gono terus meremas dan melumat buah dada bulat kenyal dengan lapar. Sesekali keduanya memuntir dan menggigiti puting cokelat muda yang menggemaskan itu. Sedangkan Bugi menggesek-gesekkan kont*lnya yang keras di balik celana selututnya pada ubun-ubun Nina.
Dada Nina naik-turun. Nafasnya mulai memburu. Dengan lembut dan tak terburu-buru Coki melumat bibir bawah Nina. Dijilatinya klentit yang sudah mengeras itu dengan perlahan, sesekali menelusurinya dengan ujung lidahnya. Coki pernah membaca di sebuah majalah kalau klentit sisi sebelah kanan lebih sensitif dari sebelah kiri karena syaraf pada pada sisi kanan berhubungan langsung pada kandung kemih. Jari telunjuk Coki juga sudah mengelus dan menekan dinding atas vagina, persisnya pada permukaan halus yang mirip spons. Menurut buku seks yang dibacanya, tempat itu yang dinamakan G-spot.
“Lima menit lagi,” ujar Feri dengan suara serak. Tangannya yang memegang handycam sudah berkeringat. Ia ingin sekali ikut meremas dan menjilati tubuh Nina, tapi merekam dokumentasi langka seperti ini lebih penting baginya. Toh nantinya ia juga dapat giliran.
Nina memandangi jam dinding dengan pasrah bercampur cemas. Kalau saja ia punya kemampuan untuk memajukan jarum menit dari jarak jauh, tapi yang bisa dilakukannya hanyalah terkapar tanpa daya. Payahnya lagi tubuhnya mulai menggigil oleh hujan serangan dari cowok-cowok yang usianya sekitar sepuluh tahun lebih muda darinya. Sudah lama ia tidak disentuh laki-laki, sekarang malah ada lima meski yang satu sibuk dengan handycam. Astaga! Nanti rekaman itu akan dikemanakan? Eh, apa mereka membawa kondom? Kalau dia sampai hamil gimana? Untung saja hari ini sudah lewat masa suburnya.
“Dua menit lagi,” ujar Feri sambil merekam kehebatan kerja lidah Coki dari jarak dekat. “Lu benar-benar hebat, man. Belajar dari mana sih? Tapi jangan lama-lama nanti sepuluh menit keburu lewat,” bisiknya.
Coki hanya melirik dan mengedipkan matanya. Mendadak ia mempercepat gosokan sambil sedikit menekan G-spot dan mengenyot kacang basah itu dengan mantap. Nina mengerang dengan mata terpejam lekat sehingga dahinya berkerut dan kedua alisnya menyambung jadi satu.
“Suara lu seksi. Bikin adik gue tambah gede,” bisik Bugi sambil menyeringai.
Nina menggigit bibirnya untuk menahan teriakan-teriakan keluar dari mulutnya. Namun rasa nikmat sudah menguasai sekujur syaraf tubuhnya. Kakinya yang sejak tadi diam mulai kembali bergoyang-goyang. Begitu pula tangannya.
“This is it, Cok! She’s coming!” seru Bugi riang.
Mendengar kata ‘coming’, Nina berusaha mengendurkan syaraf-syarafnya, tapi Coki sudah membuatnya gila. Perut bawahnya mulai mengejang dan rasanya ingin meledak. Ia menggeliat untuk menahan ledakan, tapi terlambat. Seiring erangan keras, matanya melotot dan kedua kakinya menjejak ke udara dengan keras hingga nyaris terlepas dari cekalan Adon dan Gono. Bugi mencopot sumbatan mulut Nina dan berbisik, “bilang enak dulu kalau nggak, dia nggak akan berhenti ngemut klentit lu.”
Namun Nina hanya mengerang-erang sambil menggelinjang ke sana-kemari. Ia berusaha melepaskan diri dari Coki, tapi lidah dan jari Coki terus melekat dengan mantap.
“Ss… sudah… su… dah… please… tol…long…,” desis Nina setengah menangis.
“Bilang enak dulu,” perintah Bugi.
“E… enak… en…nak…”
“Yang keras!”
“Enak! Enaaak!”
Baru Coki berhenti. Sekitar bibir dan hidungnya basah mengkilap, tapi ia tampak senang. Dengan wajah berseri-seri, ia membuka pakaian hingga telanjang. Begitu pula yang lainnya termasuk Feri yang akhirnya mau juga menaruh handycam-nya.
Dengan napas tersengal-sengal Nina terbaring lemah. Ia hanya bisa melihat Coki merangkak mendekatinya dan langsung menghujamkan kont*lnya ke dalam vagina yang basah dan licin. Nina merintih saat klentitnya yang bengkak dan masih sensitif terasa pedas tergesek rambut kemaluan Coki yang tajam. Coki sendiri terus menghantam pantatnya ke selangkangan Nina sambil melumat bibir Nina dengan rakus. Nina memalingkan wajahnya begitu merasakan lendir vaginanya sendiri, tapi Coki memegangi pipinya dengan erat dan terus mengobok-obok gusi dan dinding mulut Nina dengan lidahnya. Setelah puas mentransfer ludah mulut bawah Nina ke mulut atasnya, kedua tangan Coki sibuk meremas pinggul dan payudara gadis itu dengan keras hingga Nina kesakitan. Sepertinya kesabaran Coki dalam menghadapi klentit, hilang tak tersisa.
Bugi, Adon dan Gono asyik menonton sambil mengelus-ngelus kont*l mereka. Bugi yang mendapat giliran kedua sudah siap di samping ranjang sambil menyuruh agar Coki jangan lama-lama. Coki yang memang sudah hampir selesai segera mempercepat kayuhan pantatnya dan ia menggeram sambil meremas buah dada Nina dengan keras. Crot! Crot! Crot! Nina begitu kesakitan hingga air matanya menggenang. Ia tidak mengalami orgasme lagi karena tubuhnya belum pulih dari ledakan kenikmatan tadi apalagi remasan tangan Coki menyakitinya.
Bugi langsung maju menggantikan tempat Coki. Ia menyeringai melihat Nina menggeleng pasrah.
“Jangan takut, sayang. Biarpun tangan gue lu gigit sampe berdarah, gue bakal bikin lu menjerit-jerit keenakan.”
Nina memang langsung menjerit kecil saat kont*l Bugi menerobos masuk dengan paksa. Apalagi setelah kedua kakinya yang panjang diangkat dan disampirkan pada pundak Bugi. Kont*l Bugi langsung melesak masuk menumbuk G-spotnya dengann telak. Teriakan kesakitan Nina berubah menjadi lolongan nikmat saat Bugi menghentak-hentakkan pantatnya. Kedua tangan Nina menarik-narik seprai hingga hampir robek.
Feri terus merekam dari berbagai sisi. Sedangkan Adon dan Gono mengomentari gaya Bugi dengan kagum seperti komentator yang sedang memuji-muji gocekan Ronaldinho di depan gawang lawan. Coki tampak sirik dengan keberhasilan Bugi merangsang Nina. Gadis itu seperti lupa kalau sedang diperkosa. Ia tampak begitu menikmati kocokan Bugi hingga ikut menghentakkan pantatnya dan berulang kali berteriak ‘Yes! Oh, yes! More… more!! Ughh! Enaaak! Agh… Yes! Enaaak!!”
Akhirnya dengan kepala mendongak, Bugi menggeram seperti ****** herder milik Pak RT. Cairan hangat menyembur-nyembur dari kont*lnya ke dalam rahim Nina dan kedua tangannya mencengkeram payudara sambil memuntir puting Nina. Pinggul Nina masih terus bergoyang, teriakannya juga masih jalan terus. Rupanya kont*l Bugi yang tinggal setengah mekar masih cukup keras menyodok-nyodok G-spot nya. Selang sepuluh detik kemudian giliran Nina mengerang panjang lalu tubuhnya terkulai lemas. Ia mengangguk pelan pada Bugi sebelum memejamkan matanya.
“Eh, siapa yang suruh lu tidur. Belum selesai, sayang,” tukas Adon sambil menarik Nina bangun.
Adon si gempal menyuruh Nina duduk di pangkuan menghadapnya. “Busyet! Lu becek banget,” tukas Adon setengah mengeluh saat cairan vagina bercampur sperma dua temannya tumpah membasahi paha dan buah zakarnya. Kont*l Adon sudah berdiri dengan kerasnya hingga tak perlu bantuan tangan lagi untuk memasuki lubang vagina Nina.
Nina menahan napas saat vaginanya kembali ditembus kont*l sekeras kayu. Anak-anak kuliahan ini benar-benar berbeda dari Albert Withers, expat Aussie yang dulu memeliharanya. Kont*l Albert memang besar, tapi tidak sekeras milik mereka. Mungkin karena sudah berusia lima puluh tahun maka kont*l bule itu tidak lagi mengacung ke langit tapi membentuk sudut sembilan puluh derajat dari paha.
Adon memegangi pantat Nina dan menaik-turunkannya seiring ia menggoyang pantatnya. Nina yang lemas berusaha bersandar pada tubuhnya, tapi malah didorongnya menjauh hingga kepalanya terayun ke belakang. Satu tangan Adon melepas pantat Nina untuk menyangga punggung Nina. Bibirnya yang tebal menyelomot payudara Nina yang berayun di depan wajahnya. Mata Nina kembali terpejam dan ia mengerang. Semua rangsangan ini membuat liang senggamanya berkedut dan mengeluarkan cairan lagi. Tapi erangannya lembut setengah mendesah, tak sekeras saat kont*l Bugi mengocoknya. Tapi lama kelamaan ia mulai merintih nikmat karena klentitnya kembali mengembang setelah tergesek dengan rambut kemaluan Adon. Ia mulai menggelinjang sehingga tubuhnya oleng dan hampir jatuh rebah ke kasur. Tapi Adon menariknya kembali dan tubuh mereka yang basah karena keringat saling menempel. Adon memeluk Nina dengan erat dan menekan tubuh Nina kuat-kuat sebelum menyemburkan spermanya.
Nina yang baru saja dibaringkan Adon langsung disuruh nungging oleh Gono. Dengan sekali hentak, kont*l Gono langsung masuk. Nina mengerang sambil meringis. Meski tidak begitu panjang, tapi kont*l buntek ini berdiameter cukup besar sehingga memenuhi liang vaginanya seperti lepet yang menuh-menuhin bungkusnya. Satu tangan Gono mengobel-ngobel payudara Nina dan yang satunya mengilik-ngilik klitoris Nina. Gadis itu terus menggelinjang dan merintih nikmat setelah mengalami lima orgasme kecil berturut-turut. Gono sendiri memejamkan mata menikmati kont*lnya dikenyot liang vagina yang tak henti berkedut.
Coki, Bugi dan Adon menggoda Feri yang terus saja asyik merekam. Seolah tak mendengar ejekan temannya, Feri malah mendekati Gono dan membisikinya sesuatu. Gono menoleh tanpa berhenti mengayun pantatnya. Pandangan takjub Gono membuat tiga penonton saling pandang dengan penasaran. Tapi Feri dan Gono tak mau menjawab pertanyaan yang diberondongkan mereka. Dengan santai Gono menarik tangannya dari klentit Nina. Tangannya mengkilat oleh cairan vagina bercampur sperma tiga temannya. Lalu ia mengoleskan cairan di tangannya ke bibir anus Nina. Nina yang sejak tadi mengerang-erang langsung terkesiap. Ia melonjak kaget bahkan berusaha melepaskan diri, tapi Gono memegangi pantatnya dengan erat. Dengan dua jari, Gono menguwek-uwek bibir anus berwarna merah muda itu hingga melembut. Anus Nina makin berkerut-kerut karena kegelian. Sentuhan pada anus rupanya membuat Nina semakin panas dan meremas kont*l Gono kuat-kuat. Bersamaan dengan jeritan Nina, Gono juga berteriak. Cairan hangat kembali membanjiri lubang vagina Nina.
Nina ambruk ke atas seprai yang bau dan basah kuyup oleh cocktail keringat, cairan vagina dan air mani. Matanya yang hampir terpejam segera melotot begitu melihat kont*l Feri yang berukuran super melintas di depan hidungnya. Tanpa disadarinya tubuhnya gemetar dan lubang vaginanya terasa ngilu sebelum ditembus kont*l pejantan terakhir. Feri menitipkan handycam-nya dulu pada Coki dan mulai mendekati Nina. Ia duduk bersandar di headboard ranjang dan menarik tubuh Nina yang tergolek di hadapannya. Dimintanya Nina duduk di pangkuannya, tapi tidak seperti Adon tadi kali ini Nina memunggunginya. Kaki Nina dipentangkan lebar dan ditaruh di atas kedua lutut Feri. Dengan perlahan, Feri memegangi pinggang ramping Nina. Diangkat dan diturunkannya tubuh gadis itu hingga kont*lnya menusuk masuk ke dalam vaginanya. Ninah mendesah puas. Namun baru saja mem*knya meremas-remas gada raksasa itu, ia kecewa. Tiba-tiba Feri saja mengangkat tubuhnya dan melepaskan kont*lnya. Apa karena terlalu becek? Nina ingin bertanya, tapi malu. Lagipula Feri kembali menurunkan tubuhnya.
Nina menjerit kesakitan. Ternyata kont*l besar itu menghujam lubang anusnya setelah mencelup lubang vaginanya untuk mendapat lubrikasi. Ia meronta dengan sisa-sisa tenaganya, tapi sia-sia. Feri terus menarik pundak Nina ke bawah. Tubuh Nina melengkung karena menahan nyeri saat seluruh kont*l Feri masuk ke lubang anusnya. Baru kali ini anusnya diperawani, sialnya dengan kont*l sebesar ini. Feri diam sejenak dan meremas-remas payudara Nina dengan lembut. Ia juga membisiki Nina dengan berbagai pujian dan rayuan. Usahanya menenangkan Nina berhasil, gadis itu akhirnya berhenti berontak dan menyandarkan tubuhnya dengan pasrah. Feri mulai menaik-turunkan tubuh Nina. Satu tangannya beranjak meninggalkan payudara dan menelusuri perut rata Nina menuju klitoris Nina yang sudah memerah.
Nina menggelinjang saat jari telunjuk Feri menggaruk sembari memutar-mutar kacangnya. Payudaranya berguncang sehingga membuat empat penonton kembali ngos-ngosan karena pemandangan merangsang ini membangunkan senjata pribadi mereka. Coki yang tidak tahan menyerahkan handycam pada Bugi dan merangkak maju mendekati Nina. Protes teman-temannya tidak dipedulikannya. Rupanya ia masih kesal mengapa Nina tampak begitu menikmati kont*l teman2nya, tapi tidak miliknya.
Telunjuk Coki menyelonong masuk ke dalam liang vagina Nina dan mengobok-obok G-spotnya dan mulutnya menerkam salah satu payudara Nina. Nina mendesis-desis sambil memandangi Coki. Pandangannya seperti orang fly, ya gadis itu sedang terbang di dunia fantasi. Cairan vagina yang terus keluar mengalir ke anus membuat gerakan kont*l Feri semakin lancar. Kaki Nina mengejang dan teriakan lantang pun menyusul hingga Coki harus membekap mulut Nina. Dua tangan Coki berada pada dua mulut Nina. Feri terus memompa lubang Nina tanpa ampun. Ia belum juga ejakulasi meski tubuh Nina sudah terkulai lemas. Akhirnya crrott…crott…crot…crot. Semburan panas mengisi lubang anus Nina hingga ia terlonjak.
Bermain selama lima ronde berturut-turut membuat tenaga Nina habis. Begitu Feri melepaskannya, ia roboh tanpa bisa berkata-kata lagi. Ia baru membuka mulutnya setelah Adon kembali meraba payudaranya. “Besok… besok lagi saja, ya…,” ujarnya memelas dengan lirih
0 komentar:
Posting Komentar